Pertanian.Info - Konsorsium peneliti dunia yang bergabung di bawah koordinasi
International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina menggelar
proyek ambisius untuk mengubah cara tumbuh padi bak tanaman jagung
ataupun sorghum. Membuat padi tumbuh seperti kedua jenis tanaman itu
berarti bisa menambah produktivitas padi sebesar 50 persen lagi dari
tingkat produksi maksimal selama ini.
John Sheehy dari IRRI, yang memimpin konsorsium peneliti itu, menyatakan produksi beras dari sawah-sawah sebenarnya masih bisa ditingkatkan lagi meski dengan konsumsi air, penggunaan lahan, dan pemberian pupuk yang tetap bahkan berkurang---sebuah bayangan atas kondisi sawah dan produksi beras di masa depan. Tanaman padi, Sheehy menjelaskan, dikenal menggunakan formulasi fotosintesis C3 yang relatif tidak efisien.
Fotosintesis, proses pemanfaatan sinar matahari untuk menangkap karbon dioksida dan mengubahnya ke dalam bentuk karbohidrat---"bahan bakar" untuk pertumbuhan---memang berbeda-beda untuk berbagai jenis tanaman. Dalam iklim tropis, Sheehy dan teman-temannya di IRRI mengetahui bahwa kelompok tanaman yang menggunakan formulasi fotosintesis C4, seperti jagung dan sorghum, justru bisa 50 persen lebih efektif dalam urusan konversi energi dari matahari itu.
Dalam proyek yang diberi nama C4 Rice Consortium, Sheehy dan timnya berharap bisa "membelokkan" tanaman padi ke dalam kelompok tanaman C4 itu. Tanaman padi yang berformula C4 juga diyakini bisa membuat penggunaan airnya dua kali lebih efektif, tidak rakus lagi. "Mengkonversi formulasi fotosintesis padi dari C3 yang tidak efisien menjadi C4 bisa meningkatkan produktivitas jenis tanaman ini 50 persen lebih banyak," kata Sheehy.
Kalau bisa dilakukan, itu artinya akan ada lebih banyak padi yang bisa tumbuh meski sumber daya yang tersedia stagnan atau malah tertekan. Efek berikutnya, tentu, mengatasi lonjakan harga beras yang tahun lalu sempat menyentuh US$ 1.000 per ton.
"Perubahan-perubahan biologis yang dibutuhkan untuk kami kerjakan dalam tanaman padi ini mungkin bisa diaplikasikan juga dalam jenis tanaman lain, seperti gandum dan kedelai," kata Achim Dobermann, Wakil Direktur Jenderal IRRI untuk Riset.
IRRI, kata Dobermann lagi, berambisi bisa memahami kebutuhan-kebutuhan yang mendasar untuk mengubah anatomi dedaunan yang dibutuhkan jenis-jenis padi hibrida. Berbagai jenis tanaman juga tak akan sungkan untuk dipindai demi mencari keperluan dan fitur-fitur spesifik Padi C4.
"Ini adalah proyek kompleks dan akan makan waktu satu dekade atau lebih untuk menyelesaikannya," ujar Sheehy sembari menambahkan, "Hasil dari riset strategis ini berpotensi menguntungkan bagi miliaran orang miskin di dunia."
Dengan harganya yang terus melambung dan kebutuhan kepala yang juga semakin banyak untuk disuapi, para ahli mengatakan bahwa peningkatan panenan---jumlah beras yang bisa diproduksi dari luasan lahan yang tetap---akan sangat krusial untuk bisa mengatasi kemiskinan di planet ini pada tahun-tahun mendatang. "Keuntungan dari keberhasilan proyek ini menjelang peningkatan populasi dunia, peningkatan harga bahan pokok, dan berkurangnya sumber daya alam akan sangat besar," kata Sheehy.
IRRI pernah begitu berjasa dalam pengembangan varietas modern padi berproduksi tinggi di Asia pada 1960-an. Saat itu IRRI menyediakan dasar bagi transformasi ekonomi di benua yang sama. Kini IRRI mencoba turun gunung dengan menyatakan produksi padi harus ditingkatkan lagi karena lonjakan harga serta ketersediaan air dan lahan yang semakin terbatas itu.
IRRI berencana menggunakan "peralatan molekuler modern" untuk menggarap proyeknya kali ini. Berbekal sumbangan dana sebesar US$ 11 juta dari Yayasan Bill dan Melinda Gates, C4 Rice Consortium melibatkan para ahli biologi molekuler, genetika, fisiologi, biokimia, dan matematika dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jerman, Cina, Kanada, serta Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO).wuragil/afp/businessworld/irri
Padi Tahan Kering LIPI
Pendekatan yang digunakan memang berbeda, tapi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga memiliki proyek dengan tanaman padi. Juga menjalin kerja dengan IRRI, para peneliti lokal saat ini sedang berusaha merekayasa genetika padi agar lebih tahan terhadap cekaman kekeringan tanpa mengurangi tingkat produksi dan cita rasa beras olahannya.
Satya Nugroho dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, yang terlibat dalam riset itu, mengungkapkan bahwa sejumlah gen sudah ditandai sebagai kandidat yang akan direkayasa. Satu di antaranya bahkan sudah masuk dalam uji lapangan. "Hasilnya, padi memang jadi lebih tahan terhadap cekaman kekeringan, tapi tingkat produksinya berkurang," ujar doktor di bidang biokimia dan biomolekuler itu.
Efek samping itulah yang kini masih diteliti. Bisa jadi itu karena ekspresi gen yang berlebih sehingga protein, misalnya, malah menjadi toksin. Ekspresi berlebih juga bisa berupa sifat yang diinginkan muncul bukan pada saat yang tepat. Gen pendukung sifat tahan kering, misalnya, diharapkan baru terekspresi ketika masa kekeringan memang mulai mencekam.
"Kami sedang mencari gen promotor yang mengendalikan ekspresi gen tahan kekeringan itu," kata Satya seraya menambahkan, "Merekayasa langsung kepada promotornya itu akan lebih efektif daripada cuma pada gen pengendali bukaan stomata (mulut daun), sistem perakaran, daya pegang air dalam sel, atau perilaku lainnya yang bisa mempengaruhi sifat tahan kekeringan."
Begitu didapat, promotor gen harus diklon sebelum difusikan kepada gen target dan tanaman kembali diuji di lapangan. Satu gen kandidat rampung diuji, Satya dan kawan-kawannya akan beralih ke gen kandidat lain yang sebagian masih dalam isolasi. "Untuk setiap proses kloning dan fusi gen target kami butuh waktu satu tahun," kata Satya.
Proyek yang sudah bergulir sejak dua tahun lalu itu memang boleh dibilang masih tergolong awal. "Kami masih di level laboratorium," begitu kata Satya.wuragil
Sumber : Koran Tempo (16 Januari 2009)
John Sheehy dari IRRI, yang memimpin konsorsium peneliti itu, menyatakan produksi beras dari sawah-sawah sebenarnya masih bisa ditingkatkan lagi meski dengan konsumsi air, penggunaan lahan, dan pemberian pupuk yang tetap bahkan berkurang---sebuah bayangan atas kondisi sawah dan produksi beras di masa depan. Tanaman padi, Sheehy menjelaskan, dikenal menggunakan formulasi fotosintesis C3 yang relatif tidak efisien.
Fotosintesis, proses pemanfaatan sinar matahari untuk menangkap karbon dioksida dan mengubahnya ke dalam bentuk karbohidrat---"bahan bakar" untuk pertumbuhan---memang berbeda-beda untuk berbagai jenis tanaman. Dalam iklim tropis, Sheehy dan teman-temannya di IRRI mengetahui bahwa kelompok tanaman yang menggunakan formulasi fotosintesis C4, seperti jagung dan sorghum, justru bisa 50 persen lebih efektif dalam urusan konversi energi dari matahari itu.
Dalam proyek yang diberi nama C4 Rice Consortium, Sheehy dan timnya berharap bisa "membelokkan" tanaman padi ke dalam kelompok tanaman C4 itu. Tanaman padi yang berformula C4 juga diyakini bisa membuat penggunaan airnya dua kali lebih efektif, tidak rakus lagi. "Mengkonversi formulasi fotosintesis padi dari C3 yang tidak efisien menjadi C4 bisa meningkatkan produktivitas jenis tanaman ini 50 persen lebih banyak," kata Sheehy.
Kalau bisa dilakukan, itu artinya akan ada lebih banyak padi yang bisa tumbuh meski sumber daya yang tersedia stagnan atau malah tertekan. Efek berikutnya, tentu, mengatasi lonjakan harga beras yang tahun lalu sempat menyentuh US$ 1.000 per ton.
"Perubahan-perubahan biologis yang dibutuhkan untuk kami kerjakan dalam tanaman padi ini mungkin bisa diaplikasikan juga dalam jenis tanaman lain, seperti gandum dan kedelai," kata Achim Dobermann, Wakil Direktur Jenderal IRRI untuk Riset.
IRRI, kata Dobermann lagi, berambisi bisa memahami kebutuhan-kebutuhan yang mendasar untuk mengubah anatomi dedaunan yang dibutuhkan jenis-jenis padi hibrida. Berbagai jenis tanaman juga tak akan sungkan untuk dipindai demi mencari keperluan dan fitur-fitur spesifik Padi C4.
"Ini adalah proyek kompleks dan akan makan waktu satu dekade atau lebih untuk menyelesaikannya," ujar Sheehy sembari menambahkan, "Hasil dari riset strategis ini berpotensi menguntungkan bagi miliaran orang miskin di dunia."
Dengan harganya yang terus melambung dan kebutuhan kepala yang juga semakin banyak untuk disuapi, para ahli mengatakan bahwa peningkatan panenan---jumlah beras yang bisa diproduksi dari luasan lahan yang tetap---akan sangat krusial untuk bisa mengatasi kemiskinan di planet ini pada tahun-tahun mendatang. "Keuntungan dari keberhasilan proyek ini menjelang peningkatan populasi dunia, peningkatan harga bahan pokok, dan berkurangnya sumber daya alam akan sangat besar," kata Sheehy.
IRRI pernah begitu berjasa dalam pengembangan varietas modern padi berproduksi tinggi di Asia pada 1960-an. Saat itu IRRI menyediakan dasar bagi transformasi ekonomi di benua yang sama. Kini IRRI mencoba turun gunung dengan menyatakan produksi padi harus ditingkatkan lagi karena lonjakan harga serta ketersediaan air dan lahan yang semakin terbatas itu.
IRRI berencana menggunakan "peralatan molekuler modern" untuk menggarap proyeknya kali ini. Berbekal sumbangan dana sebesar US$ 11 juta dari Yayasan Bill dan Melinda Gates, C4 Rice Consortium melibatkan para ahli biologi molekuler, genetika, fisiologi, biokimia, dan matematika dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jerman, Cina, Kanada, serta Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO).wuragil/afp/businessworld/irri
Padi Tahan Kering LIPI
Pendekatan yang digunakan memang berbeda, tapi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga memiliki proyek dengan tanaman padi. Juga menjalin kerja dengan IRRI, para peneliti lokal saat ini sedang berusaha merekayasa genetika padi agar lebih tahan terhadap cekaman kekeringan tanpa mengurangi tingkat produksi dan cita rasa beras olahannya.
Satya Nugroho dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, yang terlibat dalam riset itu, mengungkapkan bahwa sejumlah gen sudah ditandai sebagai kandidat yang akan direkayasa. Satu di antaranya bahkan sudah masuk dalam uji lapangan. "Hasilnya, padi memang jadi lebih tahan terhadap cekaman kekeringan, tapi tingkat produksinya berkurang," ujar doktor di bidang biokimia dan biomolekuler itu.
Efek samping itulah yang kini masih diteliti. Bisa jadi itu karena ekspresi gen yang berlebih sehingga protein, misalnya, malah menjadi toksin. Ekspresi berlebih juga bisa berupa sifat yang diinginkan muncul bukan pada saat yang tepat. Gen pendukung sifat tahan kering, misalnya, diharapkan baru terekspresi ketika masa kekeringan memang mulai mencekam.
"Kami sedang mencari gen promotor yang mengendalikan ekspresi gen tahan kekeringan itu," kata Satya seraya menambahkan, "Merekayasa langsung kepada promotornya itu akan lebih efektif daripada cuma pada gen pengendali bukaan stomata (mulut daun), sistem perakaran, daya pegang air dalam sel, atau perilaku lainnya yang bisa mempengaruhi sifat tahan kekeringan."
Begitu didapat, promotor gen harus diklon sebelum difusikan kepada gen target dan tanaman kembali diuji di lapangan. Satu gen kandidat rampung diuji, Satya dan kawan-kawannya akan beralih ke gen kandidat lain yang sebagian masih dalam isolasi. "Untuk setiap proses kloning dan fusi gen target kami butuh waktu satu tahun," kata Satya.
Proyek yang sudah bergulir sejak dua tahun lalu itu memang boleh dibilang masih tergolong awal. "Kami masih di level laboratorium," begitu kata Satya.wuragil
Sumber : Koran Tempo (16 Januari 2009)
0 komentar:
Posting Komentar